Pagi itu, mentari terbit terlalu cepat. Entah karena dia ingin segera tersenyum dan menyapa manusia, atau karena memang dia ingin berbeda dari yang biasanya. Lirih gemericik air bersama suara-suara burung pun bersahut-sahutan menyanyikan lagu gembira karena mentari sungguh elok mengunir. Burung-burung itu ingin bilang bahwa hari ini adalah hari yang bahagia sebab belum tentu hari esok mentari akan terbit lagi. Mereka takut mentari akan terbenam dalam kerakusan manusia.
Filo mulai menyingkapkan selimutnya yang tebal. Sambil mengerang dia melenturkan badan. Pagi itu, dia menggerutu, merasa belum puas tidur semalam. Mendengar suara burung-burung indah bersahut-sahutan, bertambahlah beban dalam hatinya.
"Ah, jam segini udah berisik aja itu burung!" gerutu Filo. Namun, dalam hatinya dia ingin segera mengurus burung-burung itu. Sebelum dia berangkat kerja, dia harus selesai memberi makan dan menyemprot bulu-bulu burung itu. Maklum dia ingin segera menjual burung-burung itu, sebab sudah ada tawaran tinggi dari pedagang petasan.
Filo ingin bergegas menuju keluar rumah. Segera dia melemparkan selimutnya ke belakang dan membiarkan berantakan di atas kasur. Dia berjalan keluar kamar sambil sempoyongan. "Huh, itu kenapa air dibdiarkan luber sama Sofi. Bener-bener sialan itu anak." Dia berjalan ke kamar mandi untuk menutup kran air.
Begitulah kebiasaan Sofi, adik Filo, selalu membiarkan kran air mengalir sampai luber. Entah itu sengaja untuk membangunkan kakaknya, atau memang dia pelupa. Mungkin dia lupa sebab dia harus buru-buru berangkat pagi ke kantor. Maklum kantornya jauh, sehingga jam lima pagi dia harus berangkat dari rumah.
Filo pun segera ke teras bagian samping rumah tempat dia menyusun sangkar-sangkar burungnya menggantung pada sebuah kayu penyangga yang panjang.
Tiba-tiba Filo terkejut. Beberapa sangkarnya kosong dengan kondisi pintu sangkar terbuka. Ia benar-benar kaget, beberapa burung hilang dari sangkarnya. Ia melongo dalam penyesalan, menatap salah satu sangkar burungnya yang kosong. Rupanya sangkar itu tempat dia mengurung salah satu burung langka dan mahal. Dia benar-benar tidak menyangka siapa yang melakukan ini semua.
Filo mengumpat dalam hati, mengutuk orang yang telah melakukan ini semua. Begitu besar cintanya pada burung itu, sampai-sampai dia duduk tertegun meratapi nasibnya. Ia menyesal telah kehilangan burung yang begitu dia cintai dan rawat dengan baik selama ini.
Filo merasa seolah-olah hidupnya telah berakhir di pagi hari itu. Ia menjambak-jambak rambutnya, berharap burung yang langka nan indah itu tiba-tiba datang kambali ke sangkarnya. Sungguh hatinya menjadi hampa, otot seluruh tubuhnya lunglai, dan dia lupa bahwa hari ini dia harus berangkat bekerja.
Dia membayangkan, seandainya burung itu tidak hilang, mungkin besok dia sedang menghitung uang sebesar dua puluh juta rupiah dari si pedagang petasan. Sial sungguh sial, uang itu raib bahkan sebelum dia mampu memegangnya.
Tiba-tiba Filo berpikir, jangan-jangan Sofi yang melakukan ini semua. Tetapi pikiran itu segera ditampiknya. Tidak mungkin Sofi melakukan ini semua, selama ini Sofi adalah adik yang baik. Lagipula Sofi tidak tahu-menahu soal burung.
Filo pun tiba-tiba berlari ke depan rumah. Sampai di depan rumah, dia makin sedih dan emosi. Ternyata pintu pagar terbuka lebar. Pasti Sofi lupa menutup dan menguncinya kembali. Lagi-lagi Filo mengumpat di dalam hati. Kali ini Sofi lah yang diumpatnya. Dia berpikir bahwa semua ini gara-gara Sofi yang lupa tidak menutup dan mengunci lagi pintu pagar. Padahal pintu pagar ini satunya-satunya akses masuk ke rumah ini.
Pagi itu, Filo pun semakin larut dalam kesedihan, hatinya memberontak ingin marah, tetapi tidak tahu mau marah ke siapa. Dia benar-benar merasa kehilangan burung yang sangat dicintainya. Ia kehilangan uang dua puluh juta rupiah hanya karena sifat pelupa adiknya. "Dasar Sofi si pelupa, pikun, kran air selalu lupa ditutup, pintu pagar pun lupa ditutup pula!"
Hari itu pun Filo tidak berangkat bekerja. Seharian dia menghabiskan waktu untuk meratapi burungnya yang hilang. Dia benar-benar tidak berselera melakukan aktivitas apapun. Dia hanya duduk di kursi sambil menopang dagunya dengan sebelah tangannya bergantian kanan dan kiri sambil memandang bekas sangkar si burung langka itu di hadapannya.
Hingga senja hari Filo tetap duduk tertegun dan merana di hadapan sangkar burungnya. Hingga adiknya pulang dari kantor, Filo sudah mempersiapkan beberapa pertanyaan untuk menginterogasi adiknya.
"Sofiii, kesini kau!" teriak Filo dari teras samping rumah.
Sofi pun menuju ke teras samping rumah. "Iya, kenapa kak. Jangan teriak-teriak seperti itu, ini udah senja, bentar lagi malam, ngga enak didenger tetangga," kata Sofi setelah sampai di depan kakaknya.
"Lihat, apa yang telah kau lakukan! Gara-gara kau pelupa, burung kesukaanku hilang! Aaahhhrgg!" Filo berdiri dan melompat di depan Sofi, mendorong Sofi sampai terjungkal ke belakang.
"Tunggu kak, kak Filo salah paham ..."
Belum selesai bicara Sofi sudah ditampar oleh Filo tepat di mulutnya.
Filo pun mengangkat sangkar burungnya yang telah dia ratapi seharian. Dia memukulkan sangkar burung yang cukup besar dan kokoh itu ke badan Sofi yang berusaha menghindar dan berdiri. Merasa belum puas, Filo pun mengulanginya hingga dua kali ke punggung Sofi. Sofi yang badannya ringkih pun tersungkur tak berdaya di lantai. Sofi hanya menangis terisak-isak sambil menahan sakit di punggungnya.
Filo melempar jauh-jauh sangkar burung itu, sambil berteriak, "Jadi orang jangan pelupa. Itu balasan buat orang pelupa seperti kau Sofi. Dasar pikun!"
"Apa yang kau ingat Sofi? Setiap pagi lupa kran air ngga ditutup. Pergi pun kau lupa tak menutup dan mengunci pintu pagar kembali! Apa yang kau ingat-ingat? HAH?"
Sofi tidak menjawab sama sekali. Dia masih tersungkur dengan posisi tengkurap di lantai, dan tak bergerak sedikitpun.
Filo pun mendekati dan menegakkan badan Sofi sampai Sofi dalam posisi duduk.
"Kenapa kamu jadi orang pelupa, Sofi? Kenapa?" tanya Filo sambil memegangi pundak Sofi dan mengguncang-guncangkannya.
Perlahan-lahan Sofi berusaha membuka mulut. Sambil terbata-bata dia bicara pada Filo.
"Kak, bu-bu-kan a-ku yang pe-pe-lu-pa kak. T-t-tapi kak Fi-lo yang pe-lu-pa," jawab Sofi yang berusaha keras menggerakkan bibir dan mengeluarkan suara.
"Apa kau bilang? Aku yang pelupa?" kembali lagi Filo membentak adiknya dan mengguncang pundak Sofi.
"Iya kak. Tidak ada kran air yang masih mengalir setiap pagi, itu suara gelembung air di aquarium kak Filo. Burung-burung itu juga tidak hilang," sejenak Sofi terhenti dan menarik nafas. "Burung-burung itu sudah kak Filo jual ke pedagang petasan dengan harga seratus ribu rupiah karena burung itu hampir mati, seharian kak Filo lupa memberinya makan."
"Apa kau bilang?" sahut Filo.
"Dan pintu pagar itu. Sudah seminggu pintu itu rusak engselnya dan tidak bisa ditutup lagi. Apalagi dikunci," Sofi menyelesaikan penjelasannya meskipun dia susah berbicara.
Filo pun menidurkan Sofi kembali, sebab Sofi tidak mampu duduk dan bergerak sendiri. Lalu dia bergegas lari ke pintu pagar. Dia sungguh terperanjat melihat kenyataan bahwa pintu pagar ternyata memang sudah rusak engselnya dan tidak bisa ditutup. Dia benar-benar kaget dan merasa sangat aneh dengan semua yang terjadi.
Lalu Filo kembali berlari ke teras samping rumah.
"Sofi, kenapa kamu tidak bangun?" tanya Filo sambil menegakkan tubuh Sofi agar bisa duduk dan dia memeganginya.
"Kak, tubuh aku sepertinya lumpuh. Aku benar-benar tidak bisa menggerakkan kaki, tangan, dan tubuhku," kata Sofi yang masih terbata-bata.
"Tidak Sofi, tidak mungkin. Apa yang terjadi pada dirimu?"
to be continued
0 comments:
Post a Comment